Wednesday 22 April 2009

sErIbU sUnGaI (1)

Seribu sungai…ya…itu julukan untuk kota yang kali ini jadi tujuanku tugas luar kota. Pontianak nama resminya. Aku akan coba buat dalam 2 tulisan. Yang pertama pengennya cerita seputar tugas sementara yang kedua seputar kota yang aku datangi.Tugas ke Pontianak kali ini bisa dibilang mendadak. Persiapannya termasuk sebentar, tapi karena sebelumnya sudah pernah dilaksanakan di 2 kota (Denpasar dan Yogyakarta),ga terlalu ribetlah...polanya kurang lebih sama. Untukku, bisa dibilang ini bener-bener tugas perdana...perdana yang sendirian. Selama ini kalau aku dapat tugas selalu dengan rekan sekantor yang dalam menjalankan tugas akan mem-back up aku secara substansi andaikata aku menemukan kesulitan. Awalnya sempat jiper begitu tahu aku akan pergi sendiri dan kekhawatiranku tersampaikan ke Mba Shirley. Mba Shirley dengan bijaknya memberi semangat supaya aku tidak panik, karena itu kunci semua jadi lancar. Aku mengiyakan, sambil membuat presentasi yang bakal aku sampaikan di sana.



Masih dengan perasaan cemas akan batas kemampuanku, aku berangkat juga ke Pontianak. Sampai di sana, mampir sebentar ke kantor eLPaGaR yang jadi host kegiatan ini. Berkenalan dengan Bang Ipur dan Mba Anne yang hangat membuatku langsung bisa ngobrol tik-tok dengan mereka seakan sudah kenal sebelumnya. Sedikit berbicara tentang teknis dan substansi untuk kegiatan esok hari, mereka sedikit memaksaku untuk beranjak dari kantornya dan istirahat di hotel yang sama dengan tempat kegiatan esok. Paksaan itu disertai janji sore harinya kami bisa ketemu untuk lanjut ngobrol sembari memeriksa kondisi terakhir ruangan yang akan dijadikan tempat kegiatan.



Sampai di hotel, aku langsung buka notebook, baca-baca bahan untuk presentasi dan browsing. Tanpa sadar waktu sudah jam 5 sore saat Bang Ipur menelponku mengenai keberadaannya di ruang pertemuan yang satu lantai dengan kamarku. Aku mengiyakan ajakannya untuk bergabung dengan sebelumnya minta waktu untuk mandi supaya badanku segar. Ga lama, aku sudah sampai di ruangan itu, rada rame ternyata, karena ada beberapa awak Ruai TV, yang sedang setting sound system dan lighting untuk kegiatan besok. Aku ikut bantu mengubah dan merapikan susunan meja sembari ngobrol dengan Bang Ipur dan Mba Anne.


Dalam obrolan itu, aku dapat gambaran umum kondisi sosial masyarakat KalBar dan Pontianak. Segregasi merupakan hal yang umum muncul diantara komunitas disana dan yang menjadi penanda identitas masyarakat KalBar adalah etnisitas. Kerusuhan antar etnis yang acapkali terjadi menjadi latar belakang berdirinya eLPaGaR. Mereka memfokuskan diri pada issue resolusi konflik dalam bingkai penegakan hak asasi manusia dan demokrasi. Hm... ga jauh beda dengan Demos, hanya penekanannya sedikit berbeda...



eLPaGaR melakukannya dengan totalitas yang menurutku tidak main-main. Secara internal, mereka juga melakukan konsolidasi yang terlihat dari heterogenitas staf yang mereka miliki baik dari segi etnisitas maupun keyakinan. Menurut Bang Ipur ini penting, agar komunitas-komunitas yang mereka dampingi sadar bahwa pluralisme bukan sekedar retorika dan bisa damai juga dalam kehidupan nyata yang berdekatan dengan mereka. Secara lembaga, eLPaGaR menurutku bagus. Penilaianku berdasarkan cerita dan rekomendasi dari Mas Sentot (ELSAM) yang kali ini juga terlibat dalam kegiatan ini. Mereka ga segan menolak donor yang mau memberikan dana tapi dengan syarat eLPaGaR membuat kegiatan sesuai dengan kemauan donor yang sama sekali berbeda dengan fokus gerakan yang didalami oleh eLPaGar. Menurut Bang Ipur, tawaran dari donor yang semacam ini banyak dijumpai di daerah setempat. Untuk kasus yang satu ini, ternyata ada buntutnya...Bang Ipur kemudian seperti dimusuhi oleh salah seorang konsultan dari donor yang menawarkan program diatas. Respon yang dikirim eLPaGaR via email atas tawaran konsultan malah jadi seperti menanyakan intregitas si konsultan. Ga heran malamnya saat kami makan di salah satu resto seafood terkenal di kota itu, Bang Ipur ga banyak gerak, secara meja yang aku pilih berdekatan dengan meja si konsultan tadi. Hehehe...untungnya si konsultan tak menyadari kehadiran Bang Ipur, jadi ga perlu ada adegan sinetron dengan mata yang mendelik-delik di resto itu...lebay mode on...



Segregasi yang aku singgung di atas ternyata tidak hanya terjadi di antara komunitas etnis yang ada di Pontianak. Antara gerkan masyarakat sipil pun terjadi di sana, ini di luar konteks fragmentasi gerakan yang memang terjadi di semua gerakan masyarakat sipil. Hanya karena LSM A dapet support dana dari donor tertentu, maka LSM lain yang beda fokus gerakan jadi sirik-sirik ga jelas. Untuk yang satu ini, keterangan dari Bang Ipur aku dapet sebelum dan setelah kegiatan berlangsung.



Puas bercerita seputar fokus gerakan eLPaGaR dan Demos serta tentang dinamika masyarakat dan gerakan sipil di KalBar, kami pulang untuk istirahat persiapan fisik masing-masing. Sampai hotel, aku ga langsung tidur, telpon mama dulu, trus buka notebook, niatnya belajar...emang belajar, malah ga tergoda untuk browsing, semua bahan bacaan baik yang soft copy maupun hard copy aku buka...aku jembrengkan di atas kasur, persis waktu dulu aku lagi semangat-semangatnya bikin skripsi. Entah kenapa, setelah dapat cerita tentang situasi lokal, aku jadi deg-deg-an lagi, padahal sebelumnya sempat yakin akan bisa melalui ini semua. Sambil belajar ada niat untuk mengkontak Mba Shirley, minta petunjuk...minta doa..halah...tapi aku urungkan mengingat waktu sudah larut dan lagi mba Shirley juga dalam kondisi yang aku ga tau pasti bagaimana proses TOT di Yogya. Kenapa aku jadi deg-deg-an lagi? karena presentasi yang aku bawakan esok harinya sangat berkaitan erat dengan sikon sosial masyarakat dan gerakan masyrakat sipilnya. Bongkar-bongkar file, nemu file presentasi punya Pak Asmara, aku baca dan nemu beberapa penjelasan yang membantu banget untuk bekal presentasi. Sejam berkutat dengan notebook dan lembar copy-an, mataku ga kuat, aku putuskan untuk tidur.



Bangun sekitar jam5an, lanjutkan belajar lagi lalu mandi dan sarapan. Jam setengah 7, pas masih sarapan, ditelpon MBa Shirley, ditanyai bagaimana persiapanku. Bagai mendapat angin surga...aku langsung ceritakan info yang kudapat dari Bang Ipur berikut kekhawatiranku. Mba Shirley menenangkan dengan memberikan resep-resep jitu seputar bahan presentasi. Berbekal support itu dan keyakinan diri yang mulai tumbuh, aku kembali ke kamar untuk lanjutkan belajar dan bersiap-siap. Sekitar jam 8 lewat 30an, aku menuju ruang pertemuan yang jadi tempat kegiatan kami. Ternyata tamu yang datang sudah mulai banyak. Rasa cemas muncul lagi tapi aku atasi dengan ngobrol-ngobrol aja. Ga lama Pak Masiun, dari Pancur Kasih yang jadi nara sumber juga datang. Berkenalan dan bercerita sedikit, lalu aku baca-baca lagi bahan yang aku punya. Makin lama makin banyak tamu yang datang, adrenalinku mulai terpacu, tanganku mulai dingin tanda gugup. Aku bolak-balik ambil nafas biar tenang, sampai waktunya untuk mulai tiba.



Acara dibuka oleh Mba Anne, yang kemudian meminta aku selaku wakil Demos memberi sambutan. Dengan lumayan lancar, aku sampaikan apa yang melatarbelakangi dan menjadi tujuan Demos mengadakan kegiatan ini. Sempat berniat bawa contekan tapi aku batalkan huehehe... Setelah itu, dimulailah kegiatan itu seperti yang sudah direncanakan. Sempat surprise karena aku dapat giliran awal, plus deg-deg-an sehubungan respon peserta. Aku ngebawain presentasi mengenai BPD, seperti yang pernah ditampilkan di Majalah TEMPO edisi 1 Desember 2008. Slide demi slide aku tampilkan terutama gambar segitiga hubungan antara aktivitas politik teroganisir dengan organisasi rakyat dan gerakan masyarakat sipil, karena menurut MBa Shirley, gambar itu eye catching. Di akhir presentasi, dalam closing word, aku sampaikan bahwa ide BPD memang bukan ide baru meski begitu Demos ga jarang dapat respon yang cenderung apatis tapi jika kita memang ingin perbaikan yang positif terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, alangkah baiknya jika inisiasi BPD mulai dilakukan. Respon peserta sangat jadi perhatianku, mengingat dalam 2 seri kurpol buruh di Batam dan Surabaya, aku lumayan tertampar dengan respon peserta. Apalagi yang di Surabaya, dengan bahasa tingkat tinggi, "BPD hanya sebuah reparasi atas kondisi demokrasi yang ada, reproduksi kesalahan yang berulang"...nyesek rasanya... Waktu itu memang aku ga respon balik, langsung di-back up mas Anton, tapi untuk kali ini, aku sudah punya jawabannya.



Setelah aku, giliran Pak Masiun dari Pancur Kasih yang presentasi. Beliau lebih banyak sharing pengalamannya yang dimulai dari garakan masyarakat sipil ke gerakan politik yang terorganisir. Langkah apa saja yang sudah dilakukan, beberapa keberhasilan dan kegagalan yang ditemui dalam prosesnya menghubungkan aktivitas gerakan sipil dengan gerakan politik. Pak Masiun punya pendapat serupa dengan Demos, mengenai fragmentasi yang cukup kuat diantara kelompok masyarakat sipil dan juga setuju dengan perlunya membangun link antara gerakan masyarakat sipil dan gerakan politik. Menurutnya, jika ingin ada perubahan yang mendasar sehubungan perbaikan kebijakan publik yang pro rakyat, maka terjun ke politik adalah jawabannya. Namun terjun dalam politik tidak bisa dilakukan instant dan tanpa perencanaan yang matang. Berpolitik itu ibarat investasi jangka panjang, kita tabung sekarang dan tidak harus kita yang menikmati tapi akan ada perubahan baik di masa depan. Pilihan Pak Masiun lebih kepada dukungan untuk membentuk partai politik lokal yang masih ditolak oleh sebagian besar kalangan elit politik negeri ini. Penolakan yang berlatar belakang alasan yang dibuat-buat, khawatir partai lokal hanya akan mempercepat disintegrasi bangsa ini...hm..sebuah pemikiran yang sempit. Menurut Pak Masiun, partai lokal perlu didukung dalam rangka perbaikan kualitas representasi yang lebih baik dalam kerangka demokrasi substansial.



Selanjutnya Pak Gusti, dosen sosiologi dari UnTan menyampaikan presntasinya dengan mngutip Eric Hoeffer yang berpendapat, gerakan massa ada karena didorong oleh emosi dan rasa kecewa yang teramat sangat terhadap penguasa dengan energi utamanya adalah harus melakukan perubahan. Perubahan itu dilakukan dalam 3 gerakan yaitu (a) gerakan tradisional, bercirikan hanya ada gerakan dengan isu yang terbatas dan mempunyai potnesi konflik fisik yang tinggi, (b) gerakan transisional, bercirikan sudah menggunakan organisasi dengan strategi serta taktik namun isunya masih sebatas kepentingan komunal, (c) gerakan gabungan kekuatan partai politik dengan gerakan sipil atau dari tindakan diplomatis ke konflik fisik. Secara umum, menurut Pak Gusti, roh gerakan sosial dan gerakan politik adalah menginginkan adanya perubahan.



Last but not least, Mas Sentot dari ELSAM, menyoroti penurunan kualitas dan kuantitas upaya penegakan HAM di negara ini, terutama di tingkat lokal yang ditandai dengan tidak terbangunnya sistem keadilan yang didengungkan oleh gerakan sosial. Maksudnya, belum terlihat upaya mengadaptasi isu-isu gerakan sosial dalm kegiatan politik. Gerakan yang ada selama ini, analisisnya adalah need base bukan right base, contoh yang paling kongkrit adalah kemiskinan dan penggusuran yang dianggap hanya sebagai masalah sosial bukan sebagai pelanggaran HAM, mengingat dalam konsitusi kita diatur mengenai keberadaan kaum marjinal.


Respon teman-teman gerakan sosial di sini menurutku lebih baaik ketimbang yang di Yogya kemarin, baik secara kualitas maupun kuantitas. Komentar ataupun pertanyaan yang disampaikan menunjukkkan bahwa teman-teman sadar akan fragmentasi yang terjadi dan juga sepakat untuk menjadikan gerakan politik sebagai muara atas gerakan sosial, gerakan lingkungan, gerakan ham, dan gerakan ekonomi yang selama ini mereka kerjakan. Mereka sudah sampai pada pemahaman bahwa berpolitik merupakan sebuah investasi yang harus dikerjakan sebaik mungkin, dan karena investasi tidak harus mereka yang merasakan perubahan yang dicita-cita-kan itu, yang terpenting mereka sudah jadi pionir melakukan langkah awal membuat perubahan ke arah yang lebih baik.


Dari cerita Bang Ipur setelah kegiatan selesai, aku dapat info bahwa teman-teman jaringan yang datang berasal dari semua aliran yang ada di Pontianak, kiri, kana, dan tengah. Hal yang semacam ini belum tentu terjadi andaikata bukan eLPaGar yang menjadi tuan rumah. Dalam pembicaraan lebih lanjut, aku juga tahu bahwa ide BPD juga sudah pernah disebar di tempat ini saat PPR dan Walhi sedang persiapan pembentukan Serikat Hijau Indonesia (SHI) dan belum ada kelanjutannya sampai eLPaGaR dan Demos bikin kegiatan ini. Pada prinsipnya mereka menerima BPD dan bersedia untuk duduk bersama sebagai inisiator untuk membentuk BPD dan eLPaGaR secara tidak langsung sudah mengambil peran sebagai moderator/mediator untuk langkah awal ini. Yang perlu menjadi pertimbangan dalam iniasiatif ini adalah wasapada terhadap segregasi yang memang selalu ada dan perlu menanyakan kembali niat ketulusan dan keikhlasan masing-masing lembaga dan personal untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi dan lembaga menjadi kepentingan bersama.


Somehow...saat aku bercakap-cakap dengan Bang Ipur tentang peran eLPaGaR, aku punya keyakinan inisiasi ini bisa berjalan meski tak harus selalu mulus. Untuk perubahan yang lebih baik, kerja sama memang harus digalang.





Monday 13 April 2009

pErCiKaN


api itu muncul lagi
hanya dalam sesaat
cukup kuat untuk menggodaku
kembali pada memori usang
yang sempat mampir dalam hatiku

siapa yang mulai?
uhm...aku barangkali...
tapi dia juga menanggapi
meski tanpa dia sadari

bermain dengan suara hati
salahkah yg aku alami?

Wednesday 8 April 2009

pLuRaLiSmE

Isu pluralisme menjadi isu penting dalam waktu-waktu terakhir ini. Banyak kasus kekerasan atas nama perbedaan agama atau etnis sering muncul belakangan ini. Menurut riset Demos tentang situasi demokrasi pada 2007 yang lalu, kebebasan beragama semakin memburuk dibandingkan 2004. Menjelang Pemilu, isu ini bisa bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan kekuasaan. Sehubungan dengan hal itu, Demos memuat tulisan mengenai pluraslisme dan politik uang di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa diantaranya telah terkumpul laporan dari Banjarmasin dan Medan. Bagaimanakah isu perbedaan agama dan kepercayaan serta suku bangsa dicitrakan dalam ruang publik menjelang pemilu? Dan bagaimanakah media sebagai yang "memegang" kekuasaan untuk bertutur di dalam ruang publik turut berperan dalam konflik pembentukan provinsi baru? Untuk melihat selengkapnya laporan-laporan tersebut silahkan klik di sini.