Friday 8 May 2009

sErIbU sUnGaI (2)



Seribu sungai jilid 2...judul tulisan yang ini sekalian menyambung tulisan jilid 1-nya. Dengan kedatanganku ke kota ini lengkap sudah 4 provinsi di Kalimantan aku kunjungi... Kalteng (2005) dan Kaltim (2005-2006) sehubungan urusan pribadi sementara Kalsel (2008) dan Kalbar karena tugas kantor. Tugas kali ini kebetulan lokasinya di Pontianak.




Seperti biasa setiap tugas kantor aku selalu memilih tempat duduk di bagian window karena aku ingin menikmati perjalanan dengan melihat pemandangan di luar sana. Meskipun pemandangan dari atas pesawat tetap saja didominasi oleh awan dan kawan-kawan. Kalau biasanya menjelang landing pemandangan yang terhampar adalah hutan yang "seadanya" dan hutan beton kalau perjalanan kali ini aku benar-benar disuguhi pemandangan hutan yang benar-benar hutan dan yang paling menakjubkan buatku adalah hamparan sungai yang seakan ga ada habisnya. Sungai...ya sungai, mulai dari yang kecil sampai yang besar. Kamera yang dari awal perjalanan sudah aku keluarkan dari tas langsung aku nyalakan demi mendapatkan gambar-gambar sungai yang menakjubkan untukku. Ini ada beberapa gambar yang aku ambil menjelang pesawatku landing. . Memang siy masih standar, namanya juga masih belajar, lagipula propertinya milik kantor huhehehehe...tapi lumayan bisa mengabadikan pemandangan yang menakjubkan.




Seturunnya aku dari pesawat, kesan pertama yang aku punya tentang Pontianak adalah kota yang panas, ga heran lha wong Pontianak (Kalbar) dilewati garis khatulistiwa. Di pesawat aku sempat merasakan hawa panas yang lumayang menyengat, baik cahaya maupun suhunya. Keluar dari bandara, sembari ngobrol dengan mas Sentot yang jadi teman bertugas kali ini, aku melihat kota Pontianak yang lumayan ramai. Pertanyaan pertama yang aku lontarkan adalah, di sini ga ada angkutan kota ya? Jawaban mas Sentot, pelayanan angkot di sini termasuk buruk, dalam artian fisik angkotnya dan juga rute2nya. Belakangan, diceritakan Mba Anne, sejak kredit motor gampang dan murah, angkot semakin terpinggirkan karena masyarakat banyak memilih menggunakan motor sebagai angkutan pribadi yang paling diandalkan.






Kalbar, secara mayoritas (lebih 90%) dihuni oleh penduduk yang berasal dari suku bangsa Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Sisanya campuran dari beberapa suku bangsa, diantaranya Bugis, Jawa, Madura, Sunda, Batak,dll. (Wikipedia)







Berikut pembagian suku bangsa yang ada di Kalbar: (Wikipedia)
  1. Suku Dayak, terdiri atas 4 rumpun besar yaituRumpun Iban, Rumpun Darat, Rumpun Ot Danum dan Rumpun Apo. Ke-4 rumpun ini terdiri atas 74 suku. (BUka link Wikipedia untuk lebih lengkapnya)
  2. Melayu lokal/Senganan dengan sekitar 9 lebih suku bangsa di dalamnya termasuk Melayu, Sambas, Banjar, Pesaguan, Bugis, Jawa, Madura, Minang, Batak, dll. Belakang aku tahu dari Bang Ipur, di Kalbar kecenderungannya jika seseorang beragaman Islam maka apapun sukunya ia akan dikategorisasikan sebagai orang Melayu.
  3. Tionghoa, terdiri atas Hakka dan Tiochiu.





S
ekitar tahun 90-an akhir, ada peristiwa besar yang membuat daerah ini menjadi pusat perhatian. Apalagi kalau bukan konflik antar suku yang terjadi di sini. Menurut cerita teman-teman eLPaGaR, peristiwa itu bukan yang pertama tapi sudah yang kesekian kali hanya saja sebelumnya tidak terekspos oleh media. Untukku pribadi, peristiwa itu sempat menarik perhatian, meskipun tidak mengikuti hingga detailnya, setiap ada berita di surat kabar mengenai kerusuhan in aku upayakan untuk membacanya. Dalam pikiranku saat itu, serem banget kalau itu terjadi di Padang, secara Sumbar juga rawan konflik terutama yang berhubungan dengan
issue agama.







Penyebabnya kurang lebih sama, segregasi (unsur ekonomi dll) antar suku yang ada, melibatkan 4 kelompok etnis yang termasuk besar di sana yaitu Dayak, Melayu, Tionghoa, dan Madura. Yang paling sering adalah Melayu dengan Madura dan Dayak dengan Madura. Untuk penyelesaiannya, karena kebetulan eLPaGaR fokus gerakannya adalah resolusi konflik dan anti pemiskinan, aku dapat cerita dari teman-teman, kalau antara Dayak-Madura, sepanjang hukum adat Dayak sudah dipenuhi oleh kelompok Madura, mereka sudah bisa berbaikan kembali dan kelompok Dayak bisa menerima kelmbali kedatangan kelompok Maduara di tempat mereka. Yang rada rumit bila kelompok Melayu dan Madura yang konflik, bisa dibilang tidak ada penyelesaian, karena kelompok Melayu tidak punya perangkat hukum adat yang bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi ditambah dengan sikap kelompok Melayu yang terang-terangan menolak kehadiran kelompok Madura di tempat mereka tinggal, yang mayoritas berada di daerah Sambas, atau pesisir.





Hm...aku ga kebayang tinggal di sana, ga tau sanggup apa engga...
Berharapnya konflik itu ga terjadi lagi terutama sejak hadirnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang punya fokus gerakan resolusi konflik, diantaranya eLPaGaR dan Gemawan. Paling tidak ada yang memfasilitasi dan mengupayakan tumbuhnya perdamaian di akar rumput di Kalbar.

Keterangan :
Foto-foto yang ditampilkan di sini merupakan karya personal dan diambil sesaat sebelum landing di Bandara Soepadio Pontianak.