Thursday 22 October 2009

kAlAh?


Kalah?
Pertanyaan itu muncul sesaat aku memutuskan sambungan telepon ke sebuah nomer yang dalam 3 bulan terakhir ini tidak pernah aku dial lagi. Sebelum ini, dia juga pernah menelponku, bertanya mengenai kondisi mama papa, beberapa jam setelah Padang dilanda gempa yang lalu. Saat itu, aku terus terang kaget, bahkan dalam kepanikanku, aku sanggup untuk tidak mengkontak dia, padahal biasanya, ketergantungan itu sangat tinggi. Tapi hari itu, tidak, karena aku dapat kekuatan yang lebih dari mba Anna, Putri, dan tante-tanteku serta rekan-rekan di kantor. Sempat melambung sesaat, tapi langsung mendarat. Logikaku mulai terasah.

Lalu tadi, setelah makan siang, aku dengar sms berbunyi dari nomer s******ku, 1 kali, 2 kali, kubiarkan bergitu saja karena sedang ngobrol dengan teman. Lalu setelah bunyi yang ke 3, aku membukanya dan...terpampang namanya di inboxku. Aku buka dan baca sms-nya, simple, menginformasikan sesuatu, dan bertanya apa kabarku. Masih dengan perasaan datar aku balas smsnya, menyampaikan bahwa aku berada dalam keadaan baik, dan entah apa yang merasukiku, aku memberitahukannya sedikit info mengenai aktivitasku, yang akan berada di kota yang dalam 2 tahun terakhir menjadi tempatnya berdomisili sebelum akhirnya dia pulang ke kota tempat dia dibesarkan. Parahnya, smsku juga bernada ajakan untuk bertemu... Sesaat kemudian, masuk sms balasan darinya, dia bercerita sekarang sudah kerja sambilan dan bertanya mengenai tugas luar kota yang akan aku jalani, dan menambahkan bahwa dia juga akan mengunjungi kota tersebut menjelang akhir tahun.

Tanpa ba-bi-bu, aku dial nomernya, tersambung dan langsung ngobrol seperti biasanya. Dari dia, aku merasakan tidak ada yang berubah, dari aku, sempat terbata-bata memulai percakapan yang akhirnya kusadari itu sebuah percakapan yang garing. Aku kemudian memutuskan keluar ruangan menuju teras kantor, supaya bisa lebih leluasa untuk ngobrol dengannya. Segera saja kekakuan dari ku mencair, saat dengar dia tertawa atas pengakuanku yang nervous dengan komunikasi ini.

Cerita mengalir begitu saja, bergantian dari kami berdua, seperti yang biasa kami lakukan puluhan atau ratusan kali dalam sambungan-sambungan telpon sampai 3 bulan yang lalu. Dia sempat katakan merasa kehilangan karena lama tak mendapat sambungan telpon dariku, ugh...ingin rasanya hilang ditelan bumi saat mendengar kalimatnya. Kabar masing-masing kami up date, lengkap dengan candaan, komplain, ambegan, dan rajukan masing-masing. Dan kembali, topik sensitif itu menyeruak di antara kami, sempat membuat dia terdengar gusar dalam nada bicaranya, dan seperti biasa, akulah yang menjadi pemadam. Percakapan berlanjut untuk beberapa waktu dan kemudian diakhiri dengan janji-janji kecil yang selama ini kami (aku) impikan untuk diwujudkan. Yang entah kapan akan kesampaian. Yang entah benar atau salah. Yang entah...entah itu logic atau tidak. Di akhir pembicaraan, kami berterima kasih satu sama lain atas percakapan ini. Dan tanpa kusadari, sebuah senyum penuh arti tersungging di wajahku.

Hm...aku tidak tahu secara tepat apa yang kurasakan, tapi aku bersyukur bahwa rencana dia dalam merajut masa depan tertata dengan baik. Somehow, aku ikut senang dengan rencana tersebut. Aku tulus mendoakan yang terbaik untuk dia dan untuk aku.

Setelah itu, aku tiba-tiba teringat dengan janjiku, janji pada diriku dan teringat pada komunikasi yang barusan aku lakukan. Kalah..kalah..kalah.. Tergagap aku dengan pikiran ini, benarkah aku kalah?!?!


*untuk dia yang aku ceritakan dalam tulisan ini, i wish u all the best, please dont get mad about this note.