Rangkaian pesan pendek kita tertanggal 6 Oktober 2009 masih tersimpan
dalam telepon selularku. Entah kenapa aku menyimpannya. Dan tengah
malam ini, setelah mendapat kabar dari Dion dan Om Ben, aku kembali
membaca rangkaian pesan pendek itu. Semua pesan pendek kita bernada
marah. Aku marah padamu karena sudah memaksa Mama, Papa, (Alm.) Budhe
Tuti, dan Mba Eli untuk datang ke Pekanbaru dalam rangka persiapan
pernikahanmu, padahal Padang baru saja diguncang gempa besar. Sikapmu
yang menggampangkan semua urusan saat itu terus terang membuatku marah,
apalagi saat kemudian aku diceritakan Papa bahwa saat mereka ada di
Pekanbaru kamu tidak terlalu memperhatikan mereka, padahal mereka
bertaruh jauh-jauh datang dari Padang dalam kondisi yang ga menentu
dengan pertimbangan kamu adalah keponakan mereka. Dan kamu marah
karena menurutmu aku sok tahu dan ikut campur urusanmu. Semua pesan
pendek itu aku tuntaskan dengan sambungan telepon padamu. Kita masih
bertengkar dan saat itu aku benar-benar tidak bisa menahan diriku. Aku
berkata , " OK Rio, terserah kamu mau berargumen apa. Yang tahu niatmu
baik atau tidak, cuma kamu dan Tuhan. Aku akan terus memantau keadaan
sampai Mama Papa, Budhe Tuti dan Mba Eli kembali dengan selamat di rumah
Padang. Kalau sampai ada apa-apa dengan mereka, maka aku akan kejar
tanggung jawabmu. Aku harap kedatangan mereka ke Pekanbaru dalam rangka
persiapan pernikahanmu ga sia-sia, dan aku doakan semoga pernikahanmu
baik-baik saja." Emosiku sudah sangat memuncak, hingga aku menangis
sesenggukan. Aku lantas menghubungi Bulik Menthil, dan bercerita
bagaimana arogannya kalimat-kalimat yang kamu lontarkan padaku.
Malam ini, semua adegan itu seperti ditayangkan lagi di depan mataku.
Rio, selama ini kita memang tidak pernah dekat.
Aku ga tahu persis pekerjaanmu.
Bahkan,
aku baru ngerti, istrimu (Bella), bukan perempuan yang pernah kamu
kenalkan pada aku, Budhe Tuti, dan Tante Andar saat kamu datang ke
Cibinong.
Aku belum sempat mengenal Raffa Pradipta Untara, putramu yg baru berumur 6 bulan.
Aku mengenalmu sejak kecil, meskipun kita berjauhan tempat tinggal. Aku di Padang, kamu di Cilegon.
Tapi aku tidak mengenalmu secara utuh.
Teka-teki keberadaanmu dijawab oleh hasil test DNA, setelah hampir sebulan tanda tanya itu menghinggapi keluarga besar kita.
So long, Rio...Tuhan sayang padamu.
Damailah jiwamu bersama Tuhan. Kami menghantarmu dengan doa.
Aku minta maaf karena relasi kita yang tidak baik.
Sampaikan salamku untuk Eyang Kakung Sutino, Eyang Putri Monica, Budhe Tuti, Om Sentot (Bapakmu), dan Om Koko.